Oleh: Johan Rosihan
(Anggota DPR RI Fraksi PKS Dapil NTB I (Pulau Sumbawa))
Selama lebih dari dua dekade, suara masyarakat Pulau Sumbawa terus menggaung dalam ruang demokrasi: meminta negara hadir, meminta keadilan pembangunan, dan menuntut hak untuk tumbuh setara dalam kerangka otonomi daerah. Cita-cita pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah sekadar ambisi administratif. Ia adalah jeritan kolektif masyarakat yang ingin keluar dari ketertinggalan struktural dan mendapatkan perlakuan yang adil dari negara.
Namun hingga kini, aspirasi ini seperti dibenturkan pada dinding kebijakan pusat yang membeku. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang seharusnya menjadi instrumen rekayasa pembangunan nasional, justru berubah menjadi pagar pembatas karena ketatnya mekanisme pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Rencana Induk Penataan Daerah (RIPD) dijadikan satu-satunya jalan legal, namun belum menyentuh kebutuhan strategis kawasan seperti Pulau Sumbawa.
Kami tidak menolak perencanaan nasional. Tapi apakah perencanaan yang tidak membuka ruang partisipasi dan menutup aspirasi rakyatnya masih bisa disebut demokratis?
Pulau Sumbawa sejatinya telah memenuhi hampir seluruh prasyarat pembentukan provinsi baru: memiliki lebih dari empat kabupaten/kota; basis fiskal dan sumber daya yang memadai; dukungan politik lokal yang solid; serta semangat kolektif masyarakat yang tidak pernah padam. Bahkan dari perspektif geopolitik dan geostrategis, Sumbawa memiliki posisi vital dalam menjaga konektivitas wilayah Indonesia Tengah dan Timur, serta menjadi penyangga kedaulatan negara di wilayah selatan Nusantara.
Sumbawa: Negeri Kaya yang Terpinggirkan
Jika kita membuka peta kekayaan alam Indonesia, Pulau Sumbawa tampil menonjol sebagai kawasan yang dianugerahi sumber daya luar biasa. Di sektor pertambangan, Sumbawa dikenal sebagai rumah bagi salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Aktivitas tambang di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, menghasilkan kontribusi besar bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan ekspor mineral nasional.
Namun ironi terjadi: hasil tambang mengalir deras ke pusat, sementara infrastruktur dasar seperti jalan lintas, rumah sakit rujukan, dan pendidikan tinggi bertaraf nasional masih jauh dari memadai. Ketimpangan distribusi hasil dan minimnya kehadiran negara dalam pengelolaan ulang kekayaan alam di daerah menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh.
Di sektor pertanian, Sumbawa adalah lumbung pangan yang sangat strategis. Produksi beras dan jagung dari Pulau Sumbawa, terutama dari Kabupaten Dompu, Bima, dan Sumbawa, menjadikannya sebagai kontributor penting swasembada pangan nasional. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jagung Sumbawa telah menjadi penopang utama pasokan pakan nasional.
Namun insentif dan kebijakan negara belum hadir secara proporsional. Distribusi pupuk bersubsidi tidak merata, infrastruktur irigasi terbatas, serta akses petani terhadap permodalan dan teknologi masih menjadi tantangan serius.
Sementara itu, potensi kelautan dan perikanan Sumbawa juga sangat besar. Dengan garis pantai sepanjang ribuan kilometer, laut Sumbawa adalah rumah bagi beragam spesies ikan, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomi tinggi. Namun, kurangnya pelabuhan perikanan skala besar dan belum optimalnya infrastruktur rantai dingin (cold chain) membuat hasil laut tidak termanfaatkan maksimal. Potensi wisata bahari dan pulau-pulau kecil eksotik seperti Pulau Moyo, Satonda, dan Medang belum dikelola secara optimal oleh pemerintah pusat maupun provinsi induk.
Ketimpangan Struktural dan Perlunya Provinsi Baru
Realitas pembangunan menunjukkan adanya ketimpangan yang sistematis antara Pulau Sumbawa dan Lombok sebagai pusat Provinsi NTB saat ini. Keterlambatan pembangunan infrastruktur, minimnya akses layanan publik, ketimpangan fiskal, dan lambannya birokrasi lintas wilayah menjadi bukti nyata bahwa Pulau Sumbawa membutuhkan sentuhan khusus dan kelembagaan yang lebih otonom.
Logika pemerataan yang diusung oleh semangat otonomi daerah sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi belum sepenuhnya tercermin dalam praktik pembangunan di NTB. Aspirasi masyarakat Sumbawa bukan tindakan separatis, bukan pula gejolak sektarian. Ini adalah jalan konstitusional untuk memperkuat negara melalui keadilan wilayah.
Membentuk Provinsi Pulau Sumbawa adalah cara untuk mempercepat pelayanan publik, mendekatkan pusat kebijakan kepada rakyat, dan membuka akses yang lebih adil terhadap anggaran dan sumber daya.
Negara Harus Hadir
Kepada Pemerintah Pusat, kami tidak lagi sekadar memohon. Kami menggugat secara moral dan politik: kapan negara hadir secara adil untuk rakyatnya di Pulau Sumbawa?
Kepada DPR dan DPD RI, sudah saatnya keberanian legislatif diuji untuk melakukan koreksi terbatas terhadap UU No. 23 Tahun 2014. Berikan ruang bagi aspirasi nyata rakyat melalui reformasi kebijakan DOB yang selektif dan berbasis kesiapan daerah, bukan sekadar angka dan peta kekuasaan. Untk itulah kenapa kemarin, pada tanggal 20 Mei 2025, mengambil semnagat Hari Kebangkitan Nasional, saya dan anggota DPR-RI dapil NTB 1 (Pulau Sumbawa) mengambil langkah menggunakan funsi Legislasi kami dengan meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun kembali Naskah akademik dan RUU inisiatif DPR tentang Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa yang dikawal oleh KP3S dan FORKORDA NTB serta bebrbagai elemen Diaspora Pulau sumbawa di Jakarta.
kepada media dan publik nasional, mari kita letakkan Pulau Sumbawa dalam peta besar perjuangan demokrasi pembangunan. Jangan biarkan satu pulau dengan semangat besar terus terpinggirkan oleh teknokrasi pusat yang tak selalu peka.
Menjemput Cita-Cita Bersama
Kami, rakyat Pulau Sumbawa, telah menempuh semua jalur formal: mengajukan proposal, melakukan kajian akademik, membentuk presidium, hingga melakukan lobi politik lintas partai dan lembaga. Tetapi jika negara tetap abai, maka perjuangan kami akan berubah menjadi panggilan moral yang lebih luas.
Negara tidak boleh takut pada aspirasi rakyatnya. Justru negara yang besar adalah negara yang mampu merangkul semua daerah untuk tumbuh bersama.
Kini, saatnya negara tidak hanya berbicara soal pemerataan, tetapi membuktikan keadilan itu. Provinsi Pulau Sumbawa adalah bagian dari keadilan itu. Kami telah sabar. Kami telah konsisten. Kini kami bergerak lebih tegas. Sebab negara yang adil adalah negara yang mau mendengar, lalu bertindak.
Opini ini adalah suara rakyat Pulau Sumbawa yang tak akan berhenti menuntut haknya untuk tumbuh bersama dalam keadilan Indonesia.
Komentar